Syarat Sah Perjanjian secara Hukum yang Harus Diketahui
Agar perjanjian dianggap sah di mata hukum. Apa saja syarat sah perjanjian yang harus terpenuhi?
Penasihathukum.com - Agar tidak menimbulkan perselisihan di kemudian haru, suatu janji atau kesepakatan harus haruslah sah di mata hukum. Aps syarat sah perjanjian secara hukum.
Ada banyak perjanjian yang kerap dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti perjanjian kerja sama, perjanjian kerja, sewa rumah, hingga utang-piutang. Orang-orang yang terlibat dalam perjanjian tersebut harus mengetahui syarat sah perjanjian secara hukum sebelum memutuskan menandatanganinya.
Dalam ulasan ini, Penasihathukum.com akan memaparkan tentan syara sah perjanjian secara hukum. Simak penjelasan berikut ini, agar bisa mengatasi apabila terjadi pihak yang ingkar.
Surat Perjanjian
Surat perjanjian merupakan kesepakatan tertulis di antara dua belah pihak atau lebih di mana di dalamnya tertulis aturan dan terkait hak dan kewajiban mengenai hal tertentu.
Surat perjanjian berfungsi untuk memperjelas kesepakatan dan hitam di atas putih. Kemudian digunakan sebagai acuan apabila terdapat perselisihan di masa depan, guna melindungi pihak-pihak di dalam surat perjanjian. Lalu, menjadikan kesepakatan yang telah dibuat lebih mengikat dengan adanya konsekuensi hukum apabila dilanggar.
Syarat Sah Perjanjian
Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), terdapat empat syarat sah perjanjian yaitu, kesepakatan yang mengikat, kecakapan dalam membuat suatu perikatan, memuat pokok persoalan tertentu, serta adanya sebab yang tidak terlarang.
- Kesepakatan
Setiap pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian harus secara rela untuk mengikatkan diri dalam perjanjian, bisa dinyatakan secara tegas maupun diam-diam, tanpa adanya kekhilafan, paksaan, dan penipuan.
Apabila terdapat unsur kekhilafan, paksaan, dan penipuan, maka dalam Pasal 1321 KUHPerdata dijelaskan jika kesepakatan tersebut tidak memiliki kekuatan.
- Kecakapan
Pihak-pihak yang akan membuat perjanjian haruslah cakap. Dalam Pasal 1330 KUHPerdata, disebutkan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian yaitu anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, perempuan yang sudah menikah, dan orang yang dilarang oleh undang-undang.
Anak yang belum dewasa: Anak-anak yang belum berusia 18 tahun tidak boleh membuat perjanjian hukum karena mereka dianggap belum cukup matang untuk memahami perjanjian tersebut.
Orang yang ditaruh di bawah pengampuan: Orang yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri atau hartanya karena kondisi mental atau fisik tertentu perlu bantuan orang lain untuk membuat keputusan hukum.
Perempuan yang sudah menikah: Dalam beberapa hal yang ditentukan undang-undang, perempuan yang sudah menikah mungkin memiliki batasan dalam membuat perjanjian hukum.
Orang yang dilarang oleh undang-undang: Ada beberapa orang yang dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian tertentu, misalnya, orang yang sedang mabuk atau tidak sadar.
- Persoalan
Pasal 1332 KUH Perdata menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya barang yang dapat diperdagangkan yang boleh menjadi pokok persetujuan. Ini berarti bahwa objek dari perjanjian harus berupa barang yang sah dan legal untuk diperdagangkan.
Barang yang dimaksud dapat berupa objek fisik seperti produk atau properti, atau juga jasa dan hak. Namun, tidak semua barang bisa diperdagangkan, misalnya, barang yang dilarang oleh hukum atau melanggar ketentuan undang-undang.
Intinya, Pasal 1332 KUH Perdata menegaskan bahwa perjanjian hanya dapat dibuat jika objeknya adalah barang yang dapat diperjualbelikan atau dipertukarkan secara sah. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar perjanjian yang dibuat memiliki dasar hukum yang jelas dan sah.
- Sebab yang Tidak Terlarang
Pasal 1337 KUH Perdata membahas tentang makna suatu sebab yang tidak terlarang atau halal dalam konteks perjanjian. Ini berhubungan dengan isi perjanjian dan tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian.
Menurut pasal ini, perjanjian harus memiliki tujuan atau sebab yang sah dan tidak bertentangan dengan hukum, moralitas, atau ketertiban umum. Sebuah perjanjian dianggap tidak sah jika:
Bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Tujuan dari aturan ini adalah untuk memastikan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak terlibat adalah sah dan tidak merugikan kepentingan umum atau melanggar norma-norma hukum dan etika yang ada.
Dalam perjanjian hukum, terdapat empat syarat sah perjanjian yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut dianggap sah dan memiliki kekuatan hukum. Syarat-syarat ini dibedakan menjadi syarat subjektif dan syarat objektif.
Syarat subjektif yaitu kesepakatan dan kecakapan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Sementara syarat objektif meliputi objek yang jelas dan dapat diperdagangkan serta sebab atau tujuan yang halal.
Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan. Namun, jika syarat objektif tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah terjadi atau tidak memiliki kekuatan hukum.
Demikian penjelasan tentang syarat sah perjanjian di mata hukum. Konsultasikan masalah hukum Anda dengan Penasihathukum.com melalui WhatsApp di nomor +6281568484819.