Cerai Karena KDRT, Hak Asuh Anak ke Siapa?

Dalam kasus perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pertanyaan mengenai hak asuh anak ke siapa sering kali muncul.

Cerai Karena KDRT, Hak Asuh Anak ke Siapa?
Ilustrasi hak asuh anak (Sumber: Freepik.com)

Penasihathukum.com - Dalam hubungan rumah tangga, masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kerap menjadi alasan gugatan dalam perceraian. Jika terjadi cerai karena KDRT, hak asuh anak jatuh ke tangan siapa?

Ketika terjadi perceraian, terdapat konsekuensi yang harus diterima oleh pasangan yang bercerai, seperti putusnya perkawinan, hak asuh anak, dan harta bersama. Penting untuk diketahui terkait siapa yang berhak atas hak anak ketika cerai karena KDRT.

Hak asuh anak akibat cerai dalam KDRT diatur dalam Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau UU Perkawinan.

UU tersebut menjelaskan jika orang tua yang telah bercerai wajib memelihara dan mendidik atas kepentingan anak. Apabila terjadi perselisihan terkait hak asuh, maka pengadilan memberi keputusan.

Selanjutnya, ayah bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan yang dibutuhkan sang anak. Jika ayah tidak bisa memenuhi kewajiban itu, maka pengadilan bisa menentukan jika ibu juga turut serta memikul biaya.

Selain  itu, pengadilan juga bisa mewajibkan mantan suami memberi biaya penghidupan atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan istri.

Dari  pasal tersebut, dapat diambil kesimpulan jika hak asuh anak akibat perceraian merupakan tanggung jawab keduanya. Tetapi  jika terjadi perselisihan karena hak asuh, pengadilan akan memutuskan kepada siapa hak asuh diberikan.

Hak asuh anak otomatis diberikan kepada sang ibu, jika anak belum berusia 12 tahun saat perceraian terjadi. Namun, jika usia anak telah lebih dari 12 tahun, anak berhak memilih untuk ikut ibu atau ayah.

Kendati demikian, hakim juga mempunyai pertimbangan dalam menentukan hak asuh anak. Meskipun anak memilih untuk diasuh sang ayah, tetapi jika perceraian terjadi karena adanya KDRT yang dilakukan sang ayah, hakim dapat memutuskan  dengan mempertimbangkan keselamatan anak.

Hak Asuh Anak bagi Mereka yang Beragama Islam

Dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum islam, jika terjadi perceraian maka ketentuannya adalah:

  1. Hak asuh anak yang belum mumayyiz (belum berusia 12 tahun) diberikan kepada ibu.
  2. Hak asuh anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih.
  3. Biaya asuh atau pemeliharaan ditanggung oleh  ayah.

Hak Asuh Anak bagi Non-muslim

Bagi non-muslim, hak asuh anak merujuk pada yurisprudensi yaitu:

  1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 Agustus 2003. Putusan ini menjelaskan jika hak asuh anak yang masih di bawah umur adalah kepada orang terdekat dan akrab dengan anak, yaitu ibu.
  2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 103 K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975. Putusan ini menjelaskan perwalian anak diutamakan yaitu ibu kandung karena kepentingan anak yang menjadi kriteria, kecuali jika terbukti ibu  melakukan tindakan tidak wajar dalam pengasuhan anak.

Hak asuh anak di bawah umur otomatis jatuh  kepada ibu, bahkan jika ibu tidak mempunyai penghasilan. Namun, ayah tetap berkewajiban memberi nafkah kepada anak meski hak asuh di tangan ibu.