Pidana Alternatif, Pahami Apa yang Dimaksud dengan Pidana Tutupan
Apa yang dimaksud dengan pidana tutupan? Yaitu Pidana tutupan adalah salah satu jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada terpidana di Indonesia, seperti diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru).
Penasihathukum.com - Dalam suatu sistem peradilan pidana, terdapat beragam jenis hukuman yang bisa diberikan kepada seorang pelaku. Salah satunya adalah pidana tutupan. Apa yang dimaksud dengan pidana tutupan?
Penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan pidana tutupan, karena jenis pidana ini menjadi alternatif dari pidana penjara serta memiliki karakteristik serta tujuan yang berbeda.
Kendati pidana tutupan bisa dikatakan jarang diterapkan, memahami apa yang dimaksud dengan pidana tutupan perlu untuk dikaji dan dibahas agar mengetahui secara luas sistem peradilan pidana di Indonesia.
Pidana tutupan adalah salah satu jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada terpidana di Indonesia, seperti diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru).
Meskipun baik KUHP lama maupun KUHP Baru tidak memberikan definisi rinci mengenai pidana tutupan, ada beberapa pedoman dari undang-undang terkait yang menjelaskan penerapannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (UU 20/1946), pidana tutupan dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara jika pelaku tersebut memiliki alasan yang dapat dihormati.
KUHP Baru memperluas pengertian ini dengan menyebutkan bahwa pidana tutupan juga dapat diterapkan kepada pelaku yang menjalani hukuman karena keadaan pribadi tertentu.
Pidana tutupan biasanya dikenakan kepada pelaku kejahatan politik atau pidana militer. Sejarah mencatat bahwa hukuman ini pernah diterapkan hanya sekali, yaitu oleh Mahkamah Militer pada tahun 1946 terhadap tentara yang menolak kebijakan pemerintah untuk berunding dengan Belanda dan memilih melawan menggunakan senjata, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa 3 Juli 1946 atau "Tiga Juli Affaire". Hingga kini, tidak ada lagi putusan yang menjatuhkan pidana tutupan.
UU 20/1946, yang diundangkan pada 31 Oktober 1946, mengatur bahwa tata cara dan tempat pelaksanaan pidana tutupan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan (PP 8/1948), yang mulai berlaku pada 4 Mei 1948, menetapkan tempat pelaksanaan pidana tutupan di Rumah Tutupan.
Di Rumah Tutupan, para terpidana diwajibkan bekerja di dalam area tersebut sesuai dengan perintah Menteri Pertahanan dan persetujuan Menteri Kehakiman. Menariknya, terpidana yang bekerja melebihi jam kerja yang ditetapkan dapat memperoleh penghargaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 PP 8/1948.
Rumah Tutupan memiliki pegawai dan seorang Kepala Rumah Tutupan yang memiliki sejumlah kewenangan, termasuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan. Kewenangan ini mencakup pemarahan, pencabutan hak-hak tertentu, atau hukuman tutupan sunyi.
Tutupan sunyi adalah isolasi yang mengharuskan terpidana untuk tidak berkomunikasi dengan siapa pun, kecuali dengan pegawai rumah tutupan atau seorang guru agama.
Meskipun Rumah Tutupan tidak berbeda jauh dengan penjara dalam hal pelaksanaan hukuman, Pasal 33 PP 8/1948 mengatur bahwa makanan untuk terpidana tutupan harus lebih baik dibandingkan dengan makanan di penjara.
Setelah menjalani masa hukuman, terpidana tutupan harus dikeluarkan. Jika terpidana meninggal dunia sebelum masa hukuman selesai, pemakaman dilakukan oleh keluarga atau sahabatnya, dan jika tidak memungkinkan, negara akan mengurus pemakamannya.